Kisruh Sepakbola yang Membosankan

| Selasa, 23 Oktober 2012
Perseteruan antara PSSI dan KPSI sudah sampai pada tahap memuakkan, juga tak bermutu. Bila Anda bermain di media sosial seperti Twitter, Anda bisa dengan mudah melihat perang sindiran yang dilakukan oleh mereka yang terkait dengan masing-masing organisasi.


Di media massa, perang klaim dan tuduhan pun tak pernah absen. Tentu saja, ini adalah santapan enak bagi media. Ini ranah bermain mereka yang menganggap “bad news is good news”. Yang menjadi keliru adalah pengurus yang mau meladeni semua pertanyaan wartawan tentang kisruh ini.

Tapi jangan-jangan, itu memang maunya pengurus?

Rasanya akan jauh lebih keren dan profesional bila pengurus bekerja nyata, daripada hanya berkomentar soal kisruh tanpa niat menyelesaikannya. Mungkin apa yang terlihat sekadar spin doctor — sebuah teknik memainkan dan membalikkan opini dalam sebuah perseteruan publik. Tapi itu justru mempertegas kesan bahwa mereka lebih fokus mengurus kisruh.

Makin memuakkan lagi ketika pengurus PSSI atau Badan Tim Nasional (BTN) berkali-kali mengeluarkan pernyataan yang nyaris tak berisi. Di satu kesempatan, mereka bilang skuad Indonesia akan beruji tanding dengan tim negara A. Tapi di kesempatan berikutnya, mereka juga bilang batal dengan alasan yang sungguh aneh.

Ketua Umum PSSI pun demikian. Di lain kesempatan, berbicara akan adanya kunjungan pejabat AFC, tapi kemudian berucap bahwa kunjungan batal dengan alasan yang katanya hanya diketahui oleh AFC.

Ini memang penyakit lama orang sepak bola di Indonesia. Profesionalisme kerja tak terlihat. Semua terkesan serabutan. Bagaimana mungkin ketua umum sebuah organisasi berulang kali berbicara kepada pers seperti seorang juru bicara? Pun demikian ketua BTN. Ini pula yang kerap dilakukan oleh CEO Liga Indonesia.

Dan juga bagaimana mungkin pengurus organisasi melakukan jumpa (pers) di media sosial? Sungguh meringankan beban kerja wartawan.

Terkait kisruh, KPSI sebenarnya tak perlu digubris. Kelompok ini hanya organisasi tanpa bentuk dan tanpa legalitas formal dalam sebuah peta organisasi sepak bola. Membawa masalah ini sampai pada AFC juga menjadi percuma karena AFC tak punya keperluan mengurus lembaga yang tak mereka kenal.

Di mana yurisdiksi KPSI? Tidak ada! Membentuk tim kumpulan pemain terbaik (Indonesia) dari kompetisi internal (Liga Indonesia) juga tidak akan membawa mereka ke mana-mana. KPSI tidak punya jalur untuk mengirim tim ke mana pun karena nama mereka tak tercantum di FIFA, AFC, atau AFF.

Itu sebabnya tim KPSI juga hanya bisa melawan tim amatir yang baru dibentuk sehari sebelumnya dalam partai persahabatan di Australia. Tetapi menertawakan mereka justru menggambarkan betapa kita tidak mengetahui medan dan persoalan. Andai skuad Indonesia melawat ke Australia di saat yang sama, lawan yang dihadapi pun pasti tim amatir. Atau andaikan melawan tim nasional, pasti hanya yang junior.

Sebabnya, pertama, ini bukan masa kalender internasional FIFA. Kedua, klub profesional Australia baru dua pekan memulai kompetisi A-League sehingga jadwal mereka sudah penuh. Ketiga, tim nasional selayaknya tidak melawan klub. Itu sebabnya pesaing Indonesia di AFF melakukan pemanasan dengan melawan sesama tim dari ASEAN apabila bukan di kalender internasional.

Bukan melawan klub, terlebih jika tandang. Karena sesama tim ASEAN butuh pertandingan pemanasan sebelum terjun ke Piala AFF.

Bagaimana dengan para pemain? Di satu sisi, mereka tidak salah. Walau demikian di sisi lain, sejatinya para pemain juga menentukan sikap yang jelas. Jangan hanya berlindung di balik siapa yang menggaji mereka. Toh, main di ISL atau LPI sama saja karena kemacetan gaji bisa terjadi di kedua kompetisi itu.

Pemanggilan para pemain Liga Indonesia atau juga termasuk mereka yang dari klub luar negeri sebenarnya wajib dilakukan apabila untuk keperluan Piala AFF yang akan bergulir pada akhir November nanti — atau untuk partai resmi internasional lainnya.

Ini diatur oleh FIFA. Tidak satu klub pun yang boleh menolak melepas para pemainnya bila dipanggil tim nasional dalam masa itu. Namun masalahnya PSSI tak cukup punya gigi untuk memaksa karena mereka belum mengakui secara formal klub-klub Liga Super Indonesia. Sedangkan klub seperti CS Vise di Belgia, andai BTN serius dan profesional, tak akan berani menolak panggilan timnas ke Piala AFF untuk sejumlah pemainnya.

Kisruh sepak bola nasional benar-benar membuang waktu di saat sepakbola Indonesia perlu turun mesin untuk perbaikan total. Padahal PSSI punya banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan. Antara lain memetakan level pembinaan (piramida) Indonesia yang luas ini, menyusun kurikulum pembinaan sepak bola Indonesia, meriset dan merumuskan apa yang namanya klub amatir-profesional dan memastikan segala infrastruktur teknis dan nonteknis untuk berbagai level kompetisi.

Berbagai pekerjaan rumah itu krusial untuk prestasi sepak bola Indonesia di masa depan. Namun sayang, PSSI seperti cuek. Atau apakah mereka memang tak niat untuk memajukan sepak bola nasional seperti yang selama ini digembar-gemborkan? Mereka justru hanya berputar-putar di masalah konflik dengan organisasi yang ironisnya tanpa bentuk itu.

Atau, jangan-jangan, PSSI lebih memilih peduli dengan pelestarian batik? Jika iya, ini bisa dibilang tindakan mulia. Tapi dilakukan di tengah-tengah konflik organisasi sepakbola yang mereka alami? Sungguh sebuah pencitraan yang tidak cerdas.
yahoo.co.id

0 komentar:

Posting Komentar

komentar yang sopan,agar menjaga kenyamanan dalam blog ini

Next Prev
▲Top▲